Writing as Therapy: Yes or No?

Ibaratnya, nulis sambil curhat gitu. Pada suka kayak gitu, kan? Entah di buku diary (duh, ketahuan jadulnya) atau di media sosial. Tapiii, gimana mengeluarkan perasaan (baik sedih, marah, senang, dll) dengan cara yang positif.

Kenapa harus mengarahkan ke hal positif?
Karena kalau tidak, maka bisa merugikan Anda sendiri, atau pihak lain. Misalnya, Anda curhat di media sosial kalau Si Bos itu gini-gitu, eh, akhirnya kena PHK.
=> ini merugikan Anda sendiri, dan merugikan perusahaan karena nama bisnisnya ikut tercoreng.



Lalu gimana biar ke arah positif?


Satu, mengubah pengalaman pahit jadi cerita lucu


Contoh, sebelum menikah, pekerjaan saya adalah reporter jadi punya pengalaman dimarahin narasumber, dicuekin artis, dll. Saat itu bete sih, tapi setelah menikah dan fokus menjadi penulis, baru menulis pengalaman pahit itu tapi dikemas dalam cerita lucu. Akhirnya terbit buku Cenat-Cenut Reporter pada tahun 2013 lalu.

Yang baca juga nggak tahu siapa artisnya, narasumbernya, tapi saya lega bisa “melepaskan” pengalaman yang bikin kesal itu. Apalagi bonus royalti, hihihi.

Dua, mengubah pengalaman sedih jadi cerita inspiratif


Pasti punya pengalaman sedih kan?

Coba kenali apa hikmah dari dari kejadian itu?

Lalu tulislah cerita sedih itu (tapi usahakan tidak terlalu detail, seperti siapa yang bikin sedih, lokasi di mana, dll), lalu hikmahnya apa?

Contoh:

Ada peserta training penulisan di Indscript yang menerbitkan buku berjudul “Menemukan-Mu dan Menemukannya” yang cerita pengalaman pribadi mengalami bipolar. Lalu pembaca suka karena dapat pelajaran hidup setelah membaca tulisan tersebut.

Tiga, mengeluarkan amarah lalu hapus


Salah satu cara marah ya menulislah.
Misal, Anda kesal kepada siapa, kenapa, lalu seharusnya di gimana, dst.
Jika merasa puas, hapus saja atau buang tulisannya.

Jadi, menulis bisa menjadi sarana mengobati hati yang terluka.
Jadi, menulis bisa menjadi sarana mengubahnya menjadi hal positif.
Karena Anda pasti menulis dari hati, eaaa.


Comments