Tahu keceplosan, kan? Itu tuh, hal yang seharusnya tidak diceritakan tapi ternyata terlanjur dipublish, waduh! Ibarat masak sop ayam, terus masukin garam keceplosan sampai sebotol! Asinnya bikin naik tensi! Nah, hal itu juga usahakan jangan pernah dilakukan oleh reporter seperti aku, hiks.
Baca juga tips menjadi reporter yang lainnya DI SINI.
Sebenarnya, di setiap tempat itu beda-beda. Ada yang reporter itu hanya bertugas mencari informasi mentah, sementara yang mengolah ada tim editing sendiri. Misalnya gini, reporter itu cuma bertugas hubungi narasumber untuk janjian, wawancara narasumber, menyuruh kameramen ambil gambar ini itu, terus hasilnya kasih deh ke tim editing, reporter baru deh boleh kipas-kipasuang gaji, hehehe.
Tapi, ada juga yang mewajibkan reporter itu juga menjadi editor sekaligus. Meski begitu, biasanya reporter juga didampingi editor yang memang sudah-lama-pacaran-sama-sotfware-editing alias fasih mengedit. Reporter tetap yang bertanggung jawab buat alur berita atau ceritanya, sementara editor lebih ke hal teknis seperti milih lagu, milih desain, kasih nama narasumber biar tayang di tivi juga, dll.
Kalau aku, kebetulan pernah merasakan keduanya, yaitu:
- Pas jadi reporter audio visual => awalnya jadi reporter yang khusus mencari data di lapangan saja (wawancara dan kasih tahu kameramen harus ambil gambar apa aja), tapi lama-lama juga masuk ke ruang editing yang bikin-hepi-karena-ada-ACnya #BahagianyaReporterAlakuItuReceh, hohoho.
- Pas jadi reporter media online => dari hubungi narasumber, wawancara, bikin naskah, self editing, sampai posting.
Namanya reporter kan manusia biasa, bukan superhero kayak wartawan yang bisa jadi superman itu. Jadi, pasti ada human eror, alias nggak jeli jadinya ups, keceplosan. Masih bingung keceplosan ala reporter itu gimana? Aku kasih contoh pengalamanku yang bikin tensi narasumber mendadak naik setelah melihat hasil akhir liputannya itu gimana, hiks.
Pas hasil liputan tayang di TV, ternyata ...
Anggap saja posisi narasumber itu sebenarnya “juragan”, tapi aku nulis di naskah adalah “anak buah” dan dibaca oleh dubber (dubber nggak salah sama sekali kok). Respon narsumber? Modyar! Jadi, reporter itu harus cek sampai hal detil apakah profesinya sudah benar. Kalau perlu tanya 7x profesinya apa *dikeplak narasumber.
Pas hasil liputan publish di media online, ternyata ...
Aku menulis semua jawaban narasumber. Bahkan ada yang katanya gini, “Biasalah kan orang XXX (nama daerah) memang terkenal pelit meski alasan mereka irit.” Langsung narasumber-nya hubungi aku dan minta dihapus kalimat itu.
Jadi, reporter itu harus benar-benar mengedit dengan pilih kata atau kalimat yang tepat, biar nggak bikin narasumber didemo orang-orang yang tersinggung, huhuhu.
So, gimana biar nggak keceplosan?
Sebelum publish, pastikan:
- Apakah semuanya fakta?
- Apakah tidak ada yang menjelekkan pihak lain?
- Apakah gajian masih lama? #eh, #ReporterCurhat, hahaha.
Sebenarnya, nggak cuma reporter aja yang “jangan sampai keceplosan”. Profesi lainnya juga, seperti blogger, influlancer, gossiper, eh.
Baca juga tips menjadi reporter yang lainnya DI SINI.
Sebenarnya, di setiap tempat itu beda-beda. Ada yang reporter itu hanya bertugas mencari informasi mentah, sementara yang mengolah ada tim editing sendiri. Misalnya gini, reporter itu cuma bertugas hubungi narasumber untuk janjian, wawancara narasumber, menyuruh kameramen ambil gambar ini itu, terus hasilnya kasih deh ke tim editing, reporter baru deh boleh kipas-kipas
Tapi, ada juga yang mewajibkan reporter itu juga menjadi editor sekaligus. Meski begitu, biasanya reporter juga didampingi editor yang memang sudah-lama-pacaran-sama-sotfware-editing alias fasih mengedit. Reporter tetap yang bertanggung jawab buat alur berita atau ceritanya, sementara editor lebih ke hal teknis seperti milih lagu, milih desain, kasih nama narasumber biar tayang di tivi juga, dll.
Kalau aku, kebetulan pernah merasakan keduanya, yaitu:
- Pas jadi reporter audio visual => awalnya jadi reporter yang khusus mencari data di lapangan saja (wawancara dan kasih tahu kameramen harus ambil gambar apa aja), tapi lama-lama juga masuk ke ruang editing yang bikin-hepi-karena-ada-ACnya #BahagianyaReporterAlakuItuReceh, hohoho.
- Pas jadi reporter media online => dari hubungi narasumber, wawancara, bikin naskah, self editing, sampai posting.
Namanya reporter kan manusia biasa, bukan superhero kayak wartawan yang bisa jadi superman itu. Jadi, pasti ada human eror, alias nggak jeli jadinya ups, keceplosan. Masih bingung keceplosan ala reporter itu gimana? Aku kasih contoh pengalamanku yang bikin tensi narasumber mendadak naik setelah melihat hasil akhir liputannya itu gimana, hiks.
Pas hasil liputan tayang di TV, ternyata ...
Anggap saja posisi narasumber itu sebenarnya “juragan”, tapi aku nulis di naskah adalah “anak buah” dan dibaca oleh dubber (dubber nggak salah sama sekali kok). Respon narsumber? Modyar! Jadi, reporter itu harus cek sampai hal detil apakah profesinya sudah benar. Kalau perlu tanya 7x profesinya apa *dikeplak narasumber.
Pas hasil liputan publish di media online, ternyata ...
Aku menulis semua jawaban narasumber. Bahkan ada yang katanya gini, “Biasalah kan orang XXX (nama daerah) memang terkenal pelit meski alasan mereka irit.” Langsung narasumber-nya hubungi aku dan minta dihapus kalimat itu.
Jadi, reporter itu harus benar-benar mengedit dengan pilih kata atau kalimat yang tepat, biar nggak bikin narasumber didemo orang-orang yang tersinggung, huhuhu.
So, gimana biar nggak keceplosan?
Sebelum publish, pastikan:
- Apakah semuanya fakta?
- Apakah tidak ada yang menjelekkan pihak lain?
- Apakah gajian masih lama? #eh, #ReporterCurhat, hahaha.
Sebenarnya, nggak cuma reporter aja yang “jangan sampai keceplosan”. Profesi lainnya juga, seperti blogger, influlancer, gossiper, eh.
Jadi maksudnya keceplosan ini "keceplosan" nulisnya ya. Hihi. Memang bahaya tuh apalagi kalau sampai diprotes narasumber
ReplyDeleteBenar juga ya. Karena reporter menyampaikan berita terkait orang lain. Jadi banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum publish
ReplyDeleteNah...vatetan besar nih..harus hati-hati, cek n ricek jangan sampai keceplosan yg bikin bete semuanya.. TFS Wuri...
ReplyDeleteHihiiihii... Selalu ada cerita lucu dari mba wuri pas jadi reporter dulu.. Suka kangen gak sih mbak, pengen lagi jadi reporter? Siapa tahu masih suka keceplosan. Hehe
ReplyDeleteBerarti jadi reporter harus teliti ya mbak. Pastikan semua data dicek sebelum publish
ReplyDeleteJadi reporter harus bener-bener cermat ya, terutama yang ada hubungannya dengan info narasumber. Bisa gawat kalo sampai salah tulis, hihii
ReplyDeleteDuh duh fatal kalau sampai keceplosan model gitu, seram kalau sampai adat ang protes apalagi demo karena tulisan kita, tidaaak!
ReplyDeleteTapi kadang "keceplosan" itu bisa menambah wawasan yang lain lho hihihi
ReplyDeleteHahaha mbayangin murkanya narasumber ketika melihat tayangan yang keceplosan tadi. Alamaaak reeekk...bisa habis dimarah-marahi ya sama si narasumber.
ReplyDeleteIni mengingatkan diriku buat teliti juga sebelum publish tulisan sendiri di blog.
ReplyDeleteBayangin diprotes narsum itu... duh... :D
Duh Aku gk bakat jd reporter nih, sering bgt keceplosan 🤣🤣🤣 untung dlu gak keterima di fisip *eh
ReplyDelete