Walaupun pekerjaanku sekarang lebih banyak jedotin jari di atas keyboard a.k.a menulis, tetapi semenjak daftar Kelas Inspirasi Semarang lebih memilih profesi reporter. Soalnya jauh lebih lama terjerumus di kehidupan apes dan hepi menjadi reporter. Daripada jadi penulis or copywriter yang masih level unyu. Ibaratnya nih, dunia reporter itu sudah karatan di otak, hati, sampai jempol kaki, ups. So, aku lebih fokus menceritakan pengalaman sendiri seputar menjadi reporter untuk televisi kepada murid-murid SD Islam Taqwiyatul Wathon.
Nah, kira-kira ajaransesat apa yang sudah disampaikan kepada anak-anak?
Foto: Para Pengajar Kelompok 3. Ada psikolog, penyiar, CS, dokter, crafter, farmasis, reporter abal-abal (akyu), nahkoda, PNS, petani, dan arsitek (hasil jepretan Pak Wawan).
Langkah pertama adalah telepon narasumber. Aku menjelaskan kalau jadi reporter harus berhasil telepon narasumber. Gimana kalau bertemu narasumber yang super-sibuk-sampai-soal-gosok-gigi-aja-diwakilkan? #NahLoh. Pokoknya, percaya diri dulu kalau narasumber pasti kasih respon positif. Semakin sering bertelepon ria, makin terasah rayuan maut menghadapai narasumber #Taelah.
Pas enak-enaknya menjelaskan soal telepon ini, eh ada beberapa murid laki-laki yang maju ke depan. Minta bersalaman kepadaku. Mendadak aku merasa bagai artis-cabang-Tanjung-Mas *duh, tentu saja aku menyodorkan punggung tangan. Eit, habis gitu…
“Istirahat! Istirahat!” pekik salah satu murid usai bersalaman.
“Huaaa!!! Jangan keluar! Ibu belum kelar jelasinnyaaa.”
Foto: Kertas peraga #AdaYaIstilahKayakGitu? :P
Kayaknya telinga mereka mulai berdengung mendengar suara fals-ku yang tiada berhenti. Oke, pindah ke pelajaran berikutnya yaitu membawa kamera. Demi totalitas menjelaskan reporter *prĂȘt, aku sampai bikin kamera KW dari botol plus kerdus. Para murid mulai antusias tuh mencicipi pegang kamera-yang-dibanting-seribu-kali-juga-enggak-bakal-rusak. Asal jangan bawa pulang, ya *kekepin di balik kerudung #pelitnya.
Di sela-sela menjelaskan kepada salah satu murid yang lagi praktek memegang kamera itu, seketika ada siswi yang menyolek lenganku.
Siswi: Bu, nanti salat dhuhur?
Aku: *mengangguk.
Siswi: Di masjid, Bu? (masjid sekolah maksudnya)
Aku: Iya *mulai hilang konsentrasi mengajarkan kamera.
Siswi: Bu…
Tolonggg, dia mau tanya apa lagi???!!! *tarik napas dalam-dalam.
Foto: Produk kamera HD video terbaru (September 2014), xixixi.
Biar aku bisa terus fokus mengajar, selanjutnya adalah wawancara. Tugas reporter tahap ini adalah tanya-tinyi. Poin intinya adalah pantang menyerah bertanya di lapangan, sebelum dapat semua cerita dari narasumber yang dibutuhkan. Pokoknya keluarkan banyak pertanyaan terus walau bibir reporter sampai jontor. Asal jangan tanya biar jadi anak pintar harus nelan berapa lembar buku pelajaran setiap hari? #Hedeh!
Eh, siswi-yang-hobi-colak-colek-tadi-itu bertanya lagi. Tenang, Wuri. Anggap saja menghadapi narasumber berbentuk anak-anak.
Siswi: Bu, besok ke sini lagi?
Aku: *tersenyum dulu. Enggak.
Siswi: Kok enggak, Bu?
Oh, hatiku meleleh menatap wajah polosnya.
Foto: Gambar wawancara yang enggak pernah berubah.
Sebelum aku terlanjur kena oedipux complex sama bocah tadi *idih, amit-amit, mending lanjut aktivitas berikutnya yaitu menulis naskah. Hal utama dalam membuat tulisan adalah jujur. Tulis berdasarkan apa yang disampaikan oleh narasumber. Misalnya, narasumber bilang kalau setiap anak harus punya cita-cita tinggi. Maka, jangan berani menulis berita kalau setiap anak harus punya tinggi badan yang menjulang, hiks.
Aku kira momen menulis berita ini cukup bikin para murid duduk manis di bangkunya. Ternyataaa, masih banyak vokal dan aktif *comot megaphone tukang demo. Ada satu anak yang kerap kali membuatku pengin pinjem-jaringan-spiderman biar dia menclok terus di dinding #galaknyaaa. Tapi, tahu enggak, pas balon cita-cita sudah dilepas, anak itu berlari kecil mendatangiku.
Dia: Bu. *sodorin tangan minta salaman pamit sambil tersenyum.
Aw, boys will be boys.
Foto: Salah satu siswi lagi asyik nulis naskah berita. Atau jangan-jangan malah curhat di diary?
The last step itu live report di hadapan kamera. Aku memberi kesempatan buat siapa saja yang pengin acting jadi reporter dan kameraman. Awalnya hanya sedikit anak yang mau ngoceh di depan kamera. Lama-lama satu per satu pada PeDe maju ke depan. Walau terkadang maunya maju harus berdua sama temannya, huehehe.
Ada juga, lho. Waktu satu murid lagi bacain naskah di hadapan kamera KW. Mendadak satu siswa lain mengangkat pengki atau engkrak, ditaruh percis di atas kepala reporter cilik tadi, dengan keadaan pengki yang terbalik. Waduh!
Aku: Ngapain itu?
Murid: Pura-pura lagi hujan, Bu. Aku payungin.
Oalah… #ImajinasiAnak-Anak
Video: salah satu reporter dan kameraman cilik.
This is it!
Di setiap mau bye-bye di kelas, aku harus recall soal lesson plan. Aku pun bertanya, “Hayoooo, reporter itu ngapain?”
“Telepon, Bu.”
“Wawancara, Bu.”
“Bawa kamera, Bu.”
“Nulis, Bu.”
“Bacain berita, Bu.”
“Galak sama narsum kalau pelit enggak mau diwawancara.” <= eh, kalo yang ini curhatan pribadi, hihihi.
Oh ya, jatahku masuk di kelas 3C, 4C, dan 6.1. Walau di kelas 3 dan 4 enggak ada yang minat jadi reporter, krik… krik… krik… Soalnya, profesi reporter kalah pamor sama dokter, tentara, dan chef, cyn! Setidaknya, di kelas terakhir yang aku datangi, ada yang menulis cita-cita reporter. Seperti kata Soekarno, “Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” #TumbenNulisBener.
Nah, kira-kira ajaran
Foto: Para Pengajar Kelompok 3. Ada psikolog, penyiar, CS, dokter, crafter, farmasis, reporter abal-abal (akyu), nahkoda, PNS, petani, dan arsitek (hasil jepretan Pak Wawan).
Langkah pertama adalah telepon narasumber. Aku menjelaskan kalau jadi reporter harus berhasil telepon narasumber. Gimana kalau bertemu narasumber yang super-sibuk-sampai-soal-gosok-gigi-aja-diwakilkan? #NahLoh. Pokoknya, percaya diri dulu kalau narasumber pasti kasih respon positif. Semakin sering bertelepon ria, makin terasah rayuan maut menghadapai narasumber #Taelah.
Pas enak-enaknya menjelaskan soal telepon ini, eh ada beberapa murid laki-laki yang maju ke depan. Minta bersalaman kepadaku. Mendadak aku merasa bagai artis-cabang-Tanjung-Mas *duh, tentu saja aku menyodorkan punggung tangan. Eit, habis gitu…
“Istirahat! Istirahat!” pekik salah satu murid usai bersalaman.
“Huaaa!!! Jangan keluar! Ibu belum kelar jelasinnyaaa.”
Foto: Kertas peraga #AdaYaIstilahKayakGitu? :P
Kayaknya telinga mereka mulai berdengung mendengar suara fals-ku yang tiada berhenti. Oke, pindah ke pelajaran berikutnya yaitu membawa kamera. Demi totalitas menjelaskan reporter *prĂȘt, aku sampai bikin kamera KW dari botol plus kerdus. Para murid mulai antusias tuh mencicipi pegang kamera-yang-dibanting-seribu-kali-juga-enggak-bakal-rusak. Asal jangan bawa pulang, ya *kekepin di balik kerudung #pelitnya.
Di sela-sela menjelaskan kepada salah satu murid yang lagi praktek memegang kamera itu, seketika ada siswi yang menyolek lenganku.
Siswi: Bu, nanti salat dhuhur?
Aku: *mengangguk.
Siswi: Di masjid, Bu? (masjid sekolah maksudnya)
Aku: Iya *mulai hilang konsentrasi mengajarkan kamera.
Siswi: Bu…
Tolonggg, dia mau tanya apa lagi???!!! *tarik napas dalam-dalam.
Foto: Produk kamera HD video terbaru (September 2014), xixixi.
Biar aku bisa terus fokus mengajar, selanjutnya adalah wawancara. Tugas reporter tahap ini adalah tanya-tinyi. Poin intinya adalah pantang menyerah bertanya di lapangan, sebelum dapat semua cerita dari narasumber yang dibutuhkan. Pokoknya keluarkan banyak pertanyaan terus walau bibir reporter sampai jontor. Asal jangan tanya biar jadi anak pintar harus nelan berapa lembar buku pelajaran setiap hari? #Hedeh!
Eh, siswi-yang-hobi-colak-colek-tadi-itu bertanya lagi. Tenang, Wuri. Anggap saja menghadapi narasumber berbentuk anak-anak.
Siswi: Bu, besok ke sini lagi?
Aku: *tersenyum dulu. Enggak.
Siswi: Kok enggak, Bu?
Oh, hatiku meleleh menatap wajah polosnya.
Foto: Gambar wawancara yang enggak pernah berubah.
Sebelum aku terlanjur kena oedipux complex sama bocah tadi *idih, amit-amit, mending lanjut aktivitas berikutnya yaitu menulis naskah. Hal utama dalam membuat tulisan adalah jujur. Tulis berdasarkan apa yang disampaikan oleh narasumber. Misalnya, narasumber bilang kalau setiap anak harus punya cita-cita tinggi. Maka, jangan berani menulis berita kalau setiap anak harus punya tinggi badan yang menjulang, hiks.
Aku kira momen menulis berita ini cukup bikin para murid duduk manis di bangkunya. Ternyataaa, masih banyak vokal dan aktif *comot megaphone tukang demo. Ada satu anak yang kerap kali membuatku pengin pinjem-jaringan-spiderman biar dia menclok terus di dinding #galaknyaaa. Tapi, tahu enggak, pas balon cita-cita sudah dilepas, anak itu berlari kecil mendatangiku.
Dia: Bu. *sodorin tangan minta salaman pamit sambil tersenyum.
Aw, boys will be boys.
Foto: Salah satu siswi lagi asyik nulis naskah berita. Atau jangan-jangan malah curhat di diary?
The last step itu live report di hadapan kamera. Aku memberi kesempatan buat siapa saja yang pengin acting jadi reporter dan kameraman. Awalnya hanya sedikit anak yang mau ngoceh di depan kamera. Lama-lama satu per satu pada PeDe maju ke depan. Walau terkadang maunya maju harus berdua sama temannya, huehehe.
Ada juga, lho. Waktu satu murid lagi bacain naskah di hadapan kamera KW. Mendadak satu siswa lain mengangkat pengki atau engkrak, ditaruh percis di atas kepala reporter cilik tadi, dengan keadaan pengki yang terbalik. Waduh!
Aku: Ngapain itu?
Murid: Pura-pura lagi hujan, Bu. Aku payungin.
Oalah… #ImajinasiAnak-Anak
Video: salah satu reporter dan kameraman cilik.
This is it!
Di setiap mau bye-bye di kelas, aku harus recall soal lesson plan. Aku pun bertanya, “Hayoooo, reporter itu ngapain?”
“Telepon, Bu.”
“Wawancara, Bu.”
“Bawa kamera, Bu.”
“Nulis, Bu.”
“Bacain berita, Bu.”
“Galak sama narsum kalau pelit enggak mau diwawancara.” <= eh, kalo yang ini curhatan pribadi, hihihi.
Oh ya, jatahku masuk di kelas 3C, 4C, dan 6.1. Walau di kelas 3 dan 4 enggak ada yang minat jadi reporter, krik… krik… krik… Soalnya, profesi reporter kalah pamor sama dokter, tentara, dan chef, cyn! Setidaknya, di kelas terakhir yang aku datangi, ada yang menulis cita-cita reporter. Seperti kata Soekarno, “Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” #TumbenNulisBener.
Sebenarnya, lebih mudah ngomong di depan kamera, kalau pun dicuekin penonton enggak bakal ketahuan. Nah, kalau cuap-cuap di depan kelas, terus dicuekin para murid yang sibuk lari sana loncat sini, itu sakitnya di sini, huhuhu… *cakar dinding kelas.
Foto: Wajah keriangan para murid yang semoga mewakili jiwanya pada hari itu (hasil jereptan Fatoni)
klo belum ngajar kelas 1, belum sah cakar2 dinding kelas :)
ReplyDeleteasyik nih tulisan si Nura, aku jugak mau bikin aaahh... masih repot nih, blm jadi2 tulisannya *repot tidur
Keren…keren..keren…
ReplyDeleteDi kelas 5c ada yg reporter juga cita2 nya, aku lupa motrett....ehhh emang nggak bawa kamera ding.
ReplyDeleteNice share say...
*nunggu postingan mak
ReplyDeleteMonggo...
ReplyDeleteYeay!
ReplyDeletekereeen, mbaaak... Alhamdulillah, yaa, dirimu bisa berkesempatan ikut dalam program KI :) anak-anaknya super duper biasaaa... hahaha
ReplyDeletemenyenangkan ya mbak sharing ilmu bareng anak-anak..saya ikutan dapat ilmu hehehe trims mbak :)
ReplyDelete